Pelestarian Bahasa Cirebon Tanggung Jawab Siapa?

- 15 Mei 2018, 06:36 WIB
BERBAGAI kegiatan, mulai dari seminar hingga lomba digelar untuk mencari jati diri bahasa Cerbon. Dari kegiatan itu pula berbagai pihak menuntut agar semua elemen bisa melestarikan bahasa Cerbon yang mandiri.*
BERBAGAI kegiatan, mulai dari seminar hingga lomba digelar untuk mencari jati diri bahasa Cerbon. Dari kegiatan itu pula berbagai pihak menuntut agar semua elemen bisa melestarikan bahasa Cerbon yang mandiri.*

Penelitian Supriatnoko (2012), yang mendasarkan pada keterangan sejarah yang ditemukan dibandingkan dengan Sunda, sebenarnya Sunda sebelumnya tidak memiliki undagan basa (anggah-ungguh). Semua menggunakan bahasa yang pada saat ini dinamai bahasa padinan (sehari-hari). Jadi, kosakatanya sama. Masyarakat Cirebon pada masa itu merupakan bagian dari masyarakat Sunda diduga memiliki pola yang sama dalam penggunaan bahasa. Ketika masuknya anggah-ungguh dalam bahasa Cirebon, diduga pengaruh bahasa Jawa dan kejadiannya pada awal abad ke-17, ketika Mataram di bawah Sultan Agung melakukan kerja sama dalam bidang pemerintahan dan ekonomi serta ketika Cirebon ”dipaksa” menjadi kerajaan jajahan Mataram.

Kebudayaan Jawa

Pada masa pemerintahan Amangkurat I, begitu menurut Supriatnoko, banyak seniman Cirebon yang dikirim ke Mataram untuk belajar kebudayaan Jawa, termasuk bahasa Jawa. Sebaliknya, Cirebon juga menerima kiriman seniman Jawa untuk menyebarkan kebudayaan Jawa di Cirebon. Namun, rupanya usaha yang dilakukan Kerajaan Mataram terhadap bahasa tidak terlihat kuat pengaruhnya. Satu yang menjadi jati diri masyarakat Cirebon meskipun bahasa Jawa dipakai di Cirebon. Selanjutnya, masyarakat penuturnya di Cirebon lebih nyaman menyebut bahasanya sebagai basa Cerbon.  

Wujud, tingkatan formalitas dari bahasa Jawa tidak diterima secara utuh, tetapi hanya dipakai dua tingkatan, yaitu bahasa padinan (kasar) atau bebasan (bahasa halus) atau disebut juga bahasa bagongan/bebrayan dan kraman (krama). Satu penanda tersebut bisa menyebabkan basa Cerbon terlihat ”beda” dan jadi lebih susah dipahami oleh penutur bahasa Jawa dari daerah lain.

Sebagai media komunikasi antara penutur, anggah-ungguh pada basa Cerbon dibagi dalam dua macam, yaitu padinan dan bebasan. Dalam penggunaannya, anggah-ungguh tersebut melihat percakapan, rekan bicara dan apa yang dibicarakan serta kriteria lain, status menyangkut umur, kedudukan, sosial, ekonomi, pendidikan, dan pengetahuan.

Kebiasaan penutur bahasa Cirebon menggunakan bentuk (rimbag) padinan terhadap lawan bicaranya yang sebaya atau sederajat (umur, pangkat, status sosial, atau pendidikan) dan juga terhadap orang yang memiliki status di bawahnya. Malah pada saat istirahat (ngaso), dia menggunakan bentuk padinan sebagai bahasa gaul sehari-hari. Penggunaan bentuk padinan dalam bahasa gaul dengan alasan orang Cirebon itu memiliki sikap egaliter (sepadan), blakasuta (blakblakan) dan toleran sebagai ciri masyarakat pesisir yang melihat teman bicaranya –utamanya yang akrab–sebagai sederajat.

Hasil penelitian Supriatnoko juga menemukan bahwa basa Cerbon jarang dipakai pada acara-acara resmi atau kegiatan formal pemerintahan. Penggunaannya pada acara-acara resmi pemerintahan masih terbatas pada ”pengantar” atau bisa juga disebut campur kode, misalnya ketika seseorang tokoh memberikan sambutan, sedikit-sedikit dia memakai pada beberapa awal kalimat, menyelipkan kalimat bahasa

Cerbon di tengah atau pada akhir sambutan. Seperti ”pripun kabaré...”, ”...eres mboten?”, ”matur kesuwun”. Sebaliknya, pada kegiatan atau acara-acara kemasyarakatan, seperti upacara adat, sunatan, pernikahan, dan pengajian, basa Cerbon masih dipakai. (Nurdin M Noer, Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cerbon)***

Halaman:

Editor: Administrator


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x