Pelestarian Bahasa Cirebon Tanggung Jawab Siapa?

15 Mei 2018, 06:36 WIB
BERBAGAI kegiatan, mulai dari seminar hingga lomba digelar untuk mencari jati diri bahasa Cerbon. Dari kegiatan itu pula berbagai pihak menuntut agar semua elemen bisa melestarikan bahasa Cerbon yang mandiri.*

PEMERINTAH memiliki tanggung jawab yang cukup berat ketika harus menghadapi upaya pelestarian bahasa daerah di daerahnya sendiri. Pemeliharaan bahasa dan kebudayaan telah menjadi amanat UUD 1945 untuk dikembangkan dan dilindungi. Pasal 42 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menyatakan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Pesan bernada serupa diamanatkan pula dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Peraturan Daerah Jawa Barat No 5 Tahun 2003 yang diubah menjadi Perda No  14 Tahun 2014, dan keputusan UNESCO. Semuanya telah mewanti-wanti agar bahasa daerah harus dilindungi sebab kedudukannya yang penting sebagai jiwa dan napas masyarakat daerah. Hilangnya suatu bahasa daerah harus ditafsirkan dengan hilangnya juga suatu kebudayaan yang tinggi nilainya.

Bahasa merupakan sarana utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain. Bahasa ini terutama yang diucapkan meskipun dapat ditransfer ke media lain, seperti ditulis dan bahasa tubuh (body languages). Jika sarana komunikasi lisan tidak tersedia, yang mungkin terjadi yaitu menggunakan bahasa isyarat. Karakteristik yang menonjol dari bahasa adalah bahwa hubungan antara tanda linguistik dan artinya bersifat sewenang-wenang. Tidak ada alasan lain selain konvensi antara penutur bahasa yang berbeda menegaskan pengertian setiap kata. (Cornie,  Encarta 2003). 

Masalah linguistik –ilmu yang khusus mempelajari bahasa– merupakan sistem ”tanda suara” yang telah disepakati untuk dipakai para anggota suatu kumpulan masyarakat pada kerja sama, percakapan, dan jati diri. Pada masalah ini, bahasa merupakan suatu sistem. Artinya, bahasa itu bukan kumpulan unsur yang tak teratur. Seperti sistem lainnya, unsur-unsur bahasa ”diatur” seperti pola-pola yang diulang dan hanya satu bagian yang tidak terlihat, bisa diprakirakan atau dibayangkan semua ujarannya. Bahasa juga merupakan sistem tanda. 

”Tanda” merupakan masalah atau benda yang mewakili sesuatu atau yang menimbulkan tanggapan yang sama jika orang menanggapi, seperti melihat, mendengar, dan lainnya dari apa yang diwakilinya. Selain itu, bahasa merupakan sistem bunyi karena bahasa merupakan suara. Bahasa juga punya sifat produktif, unik, universal, memiliki variasi-variasi, jati diri kelompok, dan dipakai untuk banyak kepentingan (ibid) karena memiliki sistem tanda. Semantik –studi masalah makna dan penanda linguistik–, yaitu kata-kata, ekspresi, dan kalimat. Dilihat dari sisi makna filosofis, semantik dan bahasa memiliki kedekatan yang dinamai semantik umum. Artinya, bahasa ada pada ”makna” sebagai pengaruh yang dipikirkan dan dilakukan semua orang. (Kridalaksana, 2007).

Bahasa Cirebon umumnya memiliki sifat-sifat yang sama dengan bahasa lainnya. Namun, menurut laporan Harian Umum Pikiran Rakyat yang ditulis Amaliya, terbukanya bahasa Cirebon sebagai dialek diketahui setelah pusat bahasa meneliti kekerabatan bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa. Alasannya, bahasa Jawa dipilih karena dekat dengan bahasa Cirebon jika dilihat dari kedudukan geografis atau padanan (kemiripan) bahasa.

Harus beda 80%

Ada tiga dialek bahasa Jawa yang dibandingkan dengan bahasa Cirebon, yaitu dialek Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Muh Abdul Khak, saat menjadi Kepala Bahasa Bandung (sekarang Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat) membeberkan, penelitian tersebut melibatkan 2.400 kuesioner sebagai indikator bandingan, seperti kata nama-nama bagian tubuh, seperti makan, minum, dan lainnya.

Penelitian tadi didasarkan pada metode Guiter. Metode tersebut dianggap sebagai metode standar internasional yang dipakai juga pada bagian dunia lainnya, seperti Eropa dan Amerika. Hasil akhir penelitian menunjukkan perbedaan kosakata bahasa Cirebon dengan Jawa (Jawa Tengah dan Yogyakarta) hanya 75%. Sementara itu, persentase perbedaan dengan dialek di Jawa Timur, yaitu 76%. Itu artinya, bahasa Cirebon masih merupakan salah satu dialek bahasa Jawa. Masalahnya, Guiter menetapkan untuk menjadi bahasa yang mandiri, harus ada perbedaan paling tidak 80% dengan bahasa yang dekat dengan geografisnya.

Dilihat dari sejarahnya, bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh Sanskerta, termasuk bahasa Jawa, Cirebon, dan Sunda. Bahasa Sanskerta merupakan bahasa induk bagi bahasa-bahasa yang ada di tanah Jawa. Dari penelusuran Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cerbon (LBSC) Nurdin M Noer dalam berbagai tulisannya yang dimuat pada suplemen Pikiran Rakyat Edisi Cirebon dan Kabar Cirebon (2012 dan 2013), terdapat sekitar 14.000 lema bahasa Sanskerta dan lebih dari 80 persen kosakata bahasa Cerbon merupakan hasil serapan dari bahasa Sanskerta. Memang dalam bahasa Sanskerta tidak ada tingkatan (anggah-ungguh) seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Cirebon saat ini. Bahasa Sanskerta merupakan bahasa yang sudah memiliki kedudukan tinggi dalam dunia sastra di nusantara.

Penelitian Supriatnoko (2012), yang mendasarkan pada keterangan sejarah yang ditemukan dibandingkan dengan Sunda, sebenarnya Sunda sebelumnya tidak memiliki undagan basa (anggah-ungguh). Semua menggunakan bahasa yang pada saat ini dinamai bahasa padinan (sehari-hari). Jadi, kosakatanya sama. Masyarakat Cirebon pada masa itu merupakan bagian dari masyarakat Sunda diduga memiliki pola yang sama dalam penggunaan bahasa. Ketika masuknya anggah-ungguh dalam bahasa Cirebon, diduga pengaruh bahasa Jawa dan kejadiannya pada awal abad ke-17, ketika Mataram di bawah Sultan Agung melakukan kerja sama dalam bidang pemerintahan dan ekonomi serta ketika Cirebon ”dipaksa” menjadi kerajaan jajahan Mataram.

Kebudayaan Jawa

Pada masa pemerintahan Amangkurat I, begitu menurut Supriatnoko, banyak seniman Cirebon yang dikirim ke Mataram untuk belajar kebudayaan Jawa, termasuk bahasa Jawa. Sebaliknya, Cirebon juga menerima kiriman seniman Jawa untuk menyebarkan kebudayaan Jawa di Cirebon. Namun, rupanya usaha yang dilakukan Kerajaan Mataram terhadap bahasa tidak terlihat kuat pengaruhnya. Satu yang menjadi jati diri masyarakat Cirebon meskipun bahasa Jawa dipakai di Cirebon. Selanjutnya, masyarakat penuturnya di Cirebon lebih nyaman menyebut bahasanya sebagai basa Cerbon.  

Wujud, tingkatan formalitas dari bahasa Jawa tidak diterima secara utuh, tetapi hanya dipakai dua tingkatan, yaitu bahasa padinan (kasar) atau bebasan (bahasa halus) atau disebut juga bahasa bagongan/bebrayan dan kraman (krama). Satu penanda tersebut bisa menyebabkan basa Cerbon terlihat ”beda” dan jadi lebih susah dipahami oleh penutur bahasa Jawa dari daerah lain.

Sebagai media komunikasi antara penutur, anggah-ungguh pada basa Cerbon dibagi dalam dua macam, yaitu padinan dan bebasan. Dalam penggunaannya, anggah-ungguh tersebut melihat percakapan, rekan bicara dan apa yang dibicarakan serta kriteria lain, status menyangkut umur, kedudukan, sosial, ekonomi, pendidikan, dan pengetahuan.

Kebiasaan penutur bahasa Cirebon menggunakan bentuk (rimbag) padinan terhadap lawan bicaranya yang sebaya atau sederajat (umur, pangkat, status sosial, atau pendidikan) dan juga terhadap orang yang memiliki status di bawahnya. Malah pada saat istirahat (ngaso), dia menggunakan bentuk padinan sebagai bahasa gaul sehari-hari. Penggunaan bentuk padinan dalam bahasa gaul dengan alasan orang Cirebon itu memiliki sikap egaliter (sepadan), blakasuta (blakblakan) dan toleran sebagai ciri masyarakat pesisir yang melihat teman bicaranya –utamanya yang akrab–sebagai sederajat.

Hasil penelitian Supriatnoko juga menemukan bahwa basa Cerbon jarang dipakai pada acara-acara resmi atau kegiatan formal pemerintahan. Penggunaannya pada acara-acara resmi pemerintahan masih terbatas pada ”pengantar” atau bisa juga disebut campur kode, misalnya ketika seseorang tokoh memberikan sambutan, sedikit-sedikit dia memakai pada beberapa awal kalimat, menyelipkan kalimat bahasa

Cerbon di tengah atau pada akhir sambutan. Seperti ”pripun kabaré...”, ”...eres mboten?”, ”matur kesuwun”. Sebaliknya, pada kegiatan atau acara-acara kemasyarakatan, seperti upacara adat, sunatan, pernikahan, dan pengajian, basa Cerbon masih dipakai. (Nurdin M Noer, Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cerbon)***

Editor: Administrator

Terkini

Terpopuler