Oleh: Lili Irahali *)
SABTU, 15 Oktober lalu Presiden Joko Widodo memanggil seluruh pejabat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) setelah peristiwa bertubi-tubi melanda institusi penegak hukum ini.
Dalam arahannya Presiden Jokowi memerintahkan Polri berbenah. Arahan ini tidak lepas dari sejumlah kasus yang melibatkan polisi sepanjang tahun 2022. Peristiwa-peristiwa tersebut membuat masyarakat terkejut dan miris, karena keadaban kita sebagai manusia hilang di area fungsi salah satu penegak hukum yang seharusnya memberi pengayoman, sebagaimana tercantum dalam pedoman Tri Brata dan Catur Prasetya Polri.
Inilah kasus-kasus pelanggaran moral (Adab) yang terjadi berkenaan dengan budaya penegakan hukum. Belum lagi pelanggaran pada budaya-budaya lain yang kesemuanya cenderung mengarah pada adab-rendah dan karsa-lemah, seperti budaya korupsi, budaya santai, dan budaya lainnya.
Baca Juga: Inilah Daftar Pebulu Tangkis Indonesia yang Berangkat ke Denmark Open 2022
Hal ini mengingatkan saya atas paparan seorang Profesor sehubungan dan Filsafat Ilmu, khususnya tentang Teori Adab Karsa. Teori ini merupakan buah pikir penelitian dan kontemplasi Prof. Dr. H. Herman Soewardi, dosen Universitas Padjadjaran.
Teori Adab Karsa memandang bahwa kemajuan dapat dicapai melalui karsa yang tinggi dan adab yang tinggi pula. Teori ini saya pandang sebagai teori keseimbangan dalam mencapai kemajuan yang hakiki.
Kita sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan yang Maha Kuasa selayaknya menunjukkan ketundukan sebagai makhluk ciptaan sebagai wujud ADAB yang tinggi. Lalu Tuhan telah memberikan sebagian hak prerogatifnya kepada manusia untuk menggunakan akal dan nuraninya agar mampu mewujudkan KARSA yang tinggi pula.
Baca Juga: Penangkapan Teddy Minahasa Bukti Penegakan Hukum Polri Tidak Ada Tebang Pilih