Sebuah Bom Rakitan di Timur Laut Mali Tewaskan 2 Tentara Prancis

- 3 Januari 2021, 13:46 WIB
Ilustrasi tewas di TKP. *
Ilustrasi tewas di TKP. * /Pixabay/Clker-Free-Vector-Images.

PR CIREBON – Dua tentara Prancis dikabarkan tewas ketika kendaraan mereka menabrak alat peledak rakitan di timur laut Mali pada Sabtu 2 Januari 2021.

Dilansir Cirebon.Pikiran-rakyat.com dari Channel News Asia, peristiwa tersebut hanya berselang beberapa hari setelah tiga orang lainnya tewas dengan cara yang sama.

Menurut keterangan dari staf militer Prancis, kematian mereka membuat jumlah tentara Prancis yang tewas di negara Afrika Barat itu menjadi 50.

Baca Juga: Media Asing Beberkan Asal Mula FPI, Mulai Organisasi Agama Hingga Kelompok Politik

Jumlah ini terlitung sejak Prancis pertama kali melakukan intervensi pada 2013 untuk membantu mengusir pasukan jihadis.

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan "belajar dengan sangat sedih" atas kematian Sersan Yvonne Huynh dan Brigadir Loic Risser di wilayah Menaka.

Huynh, 33 tahun dan ibu dari seorang anak kecil, adalah tentara wanita pertama yang tewas di wilayah Sahel sejak operasi Prancis dimulai.

Baca Juga: Seperti apa Timur Tengah di tahun 2021? Berikut Prediksi Soal Timur Tengah dengan Aliansi Tiga Sisi

Risser berusia 24 tahun. Keduanya adalah anggota resimen yang berspesialisasi dalam pekerjaan intelijen.

"Kendaraan mereka menabrak alat peledak rakitan selama misi intelijen. Tentara lain terluka dalam ledakan itu tetapi nyawa mereka tidak dalam bahaya," kata kepresidenan Prancis pada Sabtu 2 Januari 2021.

Perang Melawan Terorisme

Pasukan Barkhane Prancis berjumlah 5.100 tentara yang tersebar di seluruh wilayah Sahel yang gersang dan telah memerangi kelompok-kelompok jihadis bersama tentara dari Mauritania, Chad, Mali, Burkina Faso dan Niger, yang bersama-sama membentuk kelompok G5 Sahel.

Baca Juga: Senator AS dari Partai Republik Lakukan Upaya Lawan Kemenangan Joe Biden

Namun, kurangnya peralatan, dana dan pelatihan, bersama dengan masalah dalam penempatan dan koordinasi di lapangan, telah membuat kelompok tersebut berjuang untuk mendapatkan kredibilitas dan masih bergantung pada Prancis, pendukung politik besar pasukan tersebut.

Macron menegaskan tekad Prancis untuk melanjutkan perannya dalam "perang melawan terorisme" setelah serangan hari Sabtu.

Kelompok yang terkait dengan Al-Qaeda untuk Mendukung Islam dan Muslim (GSIM) telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan sebelumnya yang menewaskan tiga tentara Prancis di pusat negara bagian Sahel yang miskin.

Baca Juga: Koki Penjara Gay Nekat Paksa Napi Pria Lakukan Seks dengan Imbalan Sebatang Coklat

Kematian itu juga disebabkan karena kendaraan tentara menabrak alat peledak.

Kelompok itu merupakan aliansi utama jihadis di Sahel, mengutip serangkaian alasan serangan itu termasuk berlanjutnya kehadiran militer Prancis di wilayah tersebut.

Kemudian kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan oleh sebuah surat kabar Prancis dan pembelaan Macron atas mereka atas nama kebebasan ekspresi.

Baca Juga: Semakin Panas, Iran Tuduh Israel Memprovokasi Perang dengan Amerika Serikat

Dewan militer Mali menggulingkan presiden Ibrahim Boubacar Keita pada Agustus 2020 setelah protes berminggu-minggu yang sebagian dipicu oleh kegagalannya untuk memundurkan pemberontak.

Junta tidak mengesampingkan negosiasi dengan kelompok bersenjata dalam menghadapi pertumpahan darah yang terus-menerus di wilayah tersebut.

Menurut data dari PBB, terdapat empat ribu orang tewas pada 2019 akibat kekerasan jihadis dan konflik etnis yang digerakkan oleh kelompok Islamis di Mali, Burkina Faso dan Niger.***

Editor: Asri Sulistyowati

Sumber: Channel News Asia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah