Perpres TNI Tangani Terorisme Harus Dibahas Hati-hati, PPP: TNI Punya Doktrin Membunuh atau Dibunuh

- 28 Oktober 2020, 21:19 WIB
Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani.*
Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani.* /Instagram @arsul_sani_af./

PR CIREBON - Keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme semestinya diatur berdasarkan level ancaman, bukan peristiwa-peristiwa tertentu seperti yang kini ada pada draft Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme.
 
Itulah hal yang sebetulnya ingin diperjelas berdasarkan semangat ketika membahas Undang-Undang (UU) Nomor 5/2018 di DPR.

DPR RI bersama pemerintah mulai membahas Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Penanganan Terorisme.

Baca Juga: Cuti Bersama Bagi Karyawan Swasta, Menteri Ketenagakerjaaan Sebut Tergantung Keputusan Perusahaan
 
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI mengharapkan pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) turut menangani aksi terorisme dalam Peraturan Presiden (Perpres), dibahas dengan hati-hati.
 
 “Kami menginginkan pelibatan TNI yang proporsional dalam pencegahan, berada di bawah koordinasi BNPT. Intinya kita harus berhati-hati agar tidak memberikan cek kosong yang melanggar Undang-undang,” kata Anggota Fraksi PPP Arsul Sani dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu 28 Oktober 2020. dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari RRI
 
Arsul menyatakan, politik hukum Indonesia telah menetapkan terorisme dalam ranah tindak pidana yang berbasis pada sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi, "Bukan sistem militer atau sistem keamanan internal," imbuhnya.

Baca Juga: Banyak Generasi Muda Lakukan Demo Ricuh, Megawati: Apa Sumbangsih Kalian untuk Bangsa dan Negara?
 
Sementara itu, akademisi Program Studi Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Cenderawasih Marinus Yaung menilai, peran TNI dalam kontra-terorisme harus dibatasi.
 
“Harus ada Batasan jelas bagi TNI jika dilibatkan dalam penanganan terorisme. Kami di Papua punya pengalaman yang berbekas dan menimbulkan trauma akibat tindakan aparat yang melampaui batas. Kami mendukung dengan catatan perlu dibatasi, sebagai perbantuan dan bukan kegiatan operasi yang permanen,” terang Marinus.

Karena itu, lanjut Marinus, pembahasan rancangan Perpres harus terbuka atas masukan dari berbagai pihak, termasuk dari masyarakat Papua.

Baca Juga: Bukan UU yang Diperlukan, Din Syamsudin: Pemimpin Sudah Tidak Punya Moral, Suara Di Bungkam
 
Sebab, menurutnya, operasi TNI yang ditetapkan dengan tidak berhati-hati akan menimbulkan masalah karena doktrin TNI yang 'kill or to be killed' sangat berbeda dengan penegakan hukum oleh aparat kepolisian.
 
Karena itu, sambungnya, mekanisme pelibatan harus berdasarkan eskalasi ancaman yang melampaui kapasitas kepolisian (beyond police capacity), diputuskan oleh Presiden untuk menguatkan peran otoritas sipil, diatur dengan jelas batasan waktu, dan ruang lingkup perbantuannya.
 
"Sehingga operasi TNI harus melibatkan satuan organik lokal, karena berdasarkan pengalaman di Papua banyak kekerasan dilakukan oleh non organik lokal karena mereka tidak memahami pendekatan yang tepat di tengah masyarakat," ujarnya.

Baca Juga: Wanita Ini Ancam Bakar Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Berikut Isi Suratnya untuk Gubernur Anies
 
Adapun, Beni Sukadis selaku aktivis, peneliti, dan pendiri MARAPI Consulting-Advisory menegaskan, perlunya pelibatan TNI untuk konsisten dengan Undang-Undang TNI.
 
"Dan tetap menjaga profesionalitas TNI, disertai dengan pengawasan yang ketat," pungkasnya.
 
 Untuk diketahui, diskusi tersebut diselenggarakan MARAPI Consulting-Advisory dengan Program Studi Hubungan Internasional-FISIP Universitas Cenderawasih, Papua. Hadir berbagai kalangan dan narasumber diantaranya perwakilan DPR-RI, akademisi, dan pemerhati reformasi sektor keamanan.***

Editor: Egi Septiadi

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x