UU Cipta Kerja Atur Banyak Hal, Mulyanto Khawatirkan Liberalisasi Industri Pertahanan

- 17 Oktober 2020, 09:25 WIB
Patroli Tempur F-16 TNI AU di Perbatasan Timor Leste, Bumi Lorosae Jadi Sorotan Militer Indonesia
Patroli Tempur F-16 TNI AU di Perbatasan Timor Leste, Bumi Lorosae Jadi Sorotan Militer Indonesia /tni-au.mil.id



PR CIREBON – Undang-undang Cipta Kerja yang baru disahkan pada 5 Oktober lalu mengatur banyak hal dalam kegiatan usaha dan ketenagakerjaan, termasuk penciptaan lapangan kerja dan buruh.

Terkait hal tersebut, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengingatkan pemerintah agar berhati-hati terhadap bahaya liberalisasi dalam pengelolaan dan penyertaan modal asing pada industri alat utama sistem pertahanan keamanan.

Dia menilai bahwa ketentuan dalam UU Cipta Kerja terkait penyertaan modal asing di sektor pertahanan sangat rentan dan terbuka bagi liberalisasi industri pertahanan.

Baca Juga: Samsung Sindir iPhone 12 Masalah Charger, Memang Kenapa?

"Ini merujuk beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja dari dokumen final 812 halaman, dan membandingkannya dengan UU eksisting, yang dinilai membuka peluang terjadinya liberalisasi industri di bidang pertahanan," kata Mulyanto pada Sabtu, 17 Oktober 2020, dilansir Pikiranrakyat-Cirebon.com dari RRI.

Dalam UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal diatur ketentuan mengenai bidang atau jenis usaha yang tertutup bagi penanaman modal pada Pasal 12 ayat 2) huruf a. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal meliputi produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang.

Sementara dalam UU Cipta Kerja, Pasal 12 ayat (2) huruf e diatur ketentuan bahwa bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal meliputi industri pembuatan senjata kimia.

Baca Juga: Terus Bersaing, Rusia Buat Meme Vaksin Covid-19 Buatan Inggris Bisa Ubah Manusia Jadi Primata

Selain itu, dalam UU No.16/2012 tentang Industri Pertahanan, Pasal 52 disebutkan bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama seluruhnya dimiliki oleh negara. Kepemilikan modal atas industri komponen utama dan atau penunjang, industri komponen dan atau pendukung (perbekalan) dan industri bahan baku yang merupakan badan usaha milik negara, paling rendah 51 persen modalnya pun dimiliki oleh negara.

Sementara dalam UU Cipta Kerja, Pasal 52 ayat (1) disebutkan kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh badan usaha milik negara dan atau badan usaha milik swasta yang mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.  Terkait dengan pasal kepemilikan negara sebesar minimal 51 persen, dihapus dalam Undang-undang tersebut.

"Dari segi bidang usaha saja sudah terlihat aroma liberalisasi tersebut, karena bidang usaha yang tertutup dalam UU Cipta Kerja hanya dibatasi pada industri pembuatan senjata kimia. Sementara produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang menjadi terbuka bagi penanaman modal asing," jelas Mulyanto.

Baca Juga: Tak Terima Perlakuan Buruk Polri Pada Aktivis KAMI, Gde Siriana: Disamakan dengan Koruptor

Ia juga memberi perhatian pada aspek kepemilikan modal dalam UU tersebut.

"Belum lagi dari aspek kepemilikan modal. Dalam UU Cipta Kerja disebutkan kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh BUMN dan atau badan usaha milik swasta, berarti termasuk swasta asing," lanjut Mulyanto.

Mulyanto menegaskan menolak liberalisasi industri pertahanan tersebut, apalagi sampai dikuasai oleh modal asing, karena hal ini terkait dengan kepentingan nasional dan kedaulatan bangsa.

Baca Juga: Kehalalan Vaksin Covid-19 Masih Diuji, Ma'ruf Amin: Boleh Digunakan Karena Darurat

"Industri hankam ini wilayah high tech yang sensitif, yang harus dikuasai SDM patriot negeri yang andal. Kita justru harus menguasai industri ini, bukan malah menyerahkan kepada pihak asing," ujarnya.

Mulyanto meminta agar pemerintah lebih cermat dan berhati-hati dalam pengelolaan industri pertahanan tersebut, agar kepentingan nasional tetap mendapat prioritas, termasuk aspek alih teknologi dan pembinaan SDM industri strategis nasional.

"Saya berharap pemerintah mampu melindungi keberadaan industri strategis nasional. Jangan sampai industri strategis ini justru dikuasai swasta asing. Karena dalam jangka panjang dikhawatirkan akan berdampak pada pertahanan, keamanan dan kedaulatan bangsa," pungkasnya.***

Editor: Egi Septiadi

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x