Pendemo Teriakan Mosi Tidak Percaya, TB Hasanuddin: Tidak Mungkin Mampu Melengserkan Jokowi

- 14 Oktober 2020, 15:37 WIB
Massa teriakkan mosi tidak percaya dalam aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja / RRI
Massa teriakkan mosi tidak percaya dalam aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja / RRI /

PR CIREBON – Massa yang melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka penolakan UU Cipta Kerja meneriakkan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Akan tetapi, Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin mengatakan bahwa mosi tidak percaya layaknya mimpi di siang bolong. Ia menuturkan bahwa mosi tidak percaya hanya berlaku di negara yang menganut sistem parlementer, bukan presidensial seperti di Indonesia.

Karena itu, menurutnya, mosi tidak percaya tidak mungkin mampu melengserkan Presiden Jokowi.

Baca Juga: Polisi Temukan Ada Pelajar SD Ikut-Ikutan Aksi Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja

"Apalagi melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat," tegas Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya pada Rabu, 14 Oktober 2020, dikutip Pikiranrakyat-Cirebon.com dari situs RRI.

Hasanuddin menegaskan bahwa mosi tidak percaya yang dikumandangkan oleh gabungan massa buruh dan mahasiswa tersebut sama sekali tidak akan mampu menggoyahkan kursi kepresidenan yang diduduki oleh Jokowi.

"Tidak mudah menurunkan presiden pilihan rakyat. Proses pemakzulan presiden cukup sulit," tegas Hasanuddin.

Baca Juga: Penangkapan Aktivis KAMI Diprotes, Gatot: Polri Sudah Tidak Lagi Mencerminkan Fungsinya

Lebih lanjut Hasanuddin menekankan bahwa,  sekalipun memiliki parlemen seperti MPR, DPR, dan DPD RI, masing-masing dari mereka memiliki perbedaan dengan tugas dari parlemen dengan sistem parlementer.

Dalam politik dalam negeri, pernyataan mosi tidak percaya merupakan pernyataan tidak percaya dari DPR kepada kebijakan pemerintah. Hal itu merupakan perwujudan dari hak-hak DPR pasal 77 ayat 1 UU 27/2009 terkait penggunaan hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

Dari 9 partai yang masuk ke DPR RI, 7 partai di antaranya merupakan partai yang masuk ke jajaran pemerintahan. Oleh karena itu, pemakzulan pemerintahan Presiden Jokowi tidak akan mungkin mampu dilakukan.

Baca Juga: Habib Rizieq Shihab Dikabarkan akan Pulang dan Pimpin Revolusi, Jazilul Fawaid: Tidak Mungkin Berani

Kalaupun terjadi, mekanismenya DPR harus menggunakan hak menyatakan pendapat untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam atau di luar negeri, terdapat dugaan presiden dan atau presiden melakukan pelanggaran hukum atau pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindakan tercela.

Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR, dan dua fraksi.

"Dan bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna," tambahnya.

Baca Juga: Demi Promosikan Destinasi NTT, Internet Akan Gratis di Tujuh Kawasan Wisata

Terkait keputusan tersebut, sesuai UU MD3, pasal 210 ayat 1 dan 3, ditekankannya hanya akan sah bila dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR dan minimal 2/3 dari jumlah itu menyetujuinya.

Selanjutnya, jika paripurna menyetujui, sesuai UU MD3, pasal 212 ayat 2, maka wajib dibentuk Panitia Khusus (Pansus) yang anggotanya terdiri dari semua unsur fraksi di DPR. Setelah itu, Pansus akan bekerja selama paling lama 60 hari.

"Hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna DPR," kata Hasanuddin.

Baca Juga: Delapan Pegiat KAMI Ditangkap Polisi, Anggota DPR: Ini Ujian Bagi Demokrasi

Setelah mendengarkan laporan Pansus, sebagaimana diatur dalam UU MD3, Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 4, keputusan rapat paripurna dianggap sah bila anggota yang hadir minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir.

Kemudian setelah paripurna menyetujui, sesuai UU MD3, Pasal 215 ayat 1, hasil rapat harus dilaporkan ke MK disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya. MK kemudian bersidang, dan bila MK menyatakan terbukti maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR.

Setelah itu, sesuai UU MD3, pasal 38 ayat 3, MPR lalu melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden oleh DPR. Selanjutnya, keputusan MPR terhadap pemberhentian tersebut dinyatakan sah apabila diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Baca Juga: Cegah Pilkada 2020 jadi Klaster Covid-19, KPU Kota Depok Buat Inovasi Baru di TPS

Karena itulah, Hasanuddin menekankan bahwa seruan mosi tidak percaya yang bertujuan untuk melengserkan Jokowi, apalagi disertai dengan demo anarkis, dapat disangkakan pasal makar.

"Inilah demokrasi yang kita sepakati dan menjadi kesepakatan nasional yang harus kita taati bersama," katanya.***

Editor: Egi Septiadi

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x