PR CIREBON - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) telah memutuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law resmi menjadi Undang-Undang Cipta Kerja pada Senin, 5 Oktober 2020 lalu, hasil tersebut telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI.
Sejak diresmikannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, ketetapan tersebut menuai perdebatan dari berbagai kalangan. Perdebatan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Omnibus Law ini berujung pada pro dan kontra terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja ini.
Berbagai pihak seperti pekerja, Serikat Buruh, dan Mahasiswa menyatakan kontra terhadap disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, karena Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dirasa timpang tindih dan hanya menguntungkan salah satu pihak.
Baca Juga: Dewan Pers Nyatakan 6 Sikap Tegas Terkait Kejadian Kekerasan yang Menimpa Wartawan saat Meliput Aksi
Banyak dari pihak yang kontra telah menyatakan keinginannya untuk melakukan tuntutan lanjutan melalui judicial review ke Mahkamah Kontitusi (MK).
Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan akan menghormati kelompok masyarakat jika ingin mengajukan uji materi (judicial review) Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Akan tetapi, Puan menegaskan bahwa Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja, yang telah disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020 lalu itu, mengutamakan kepentingan nasional.
“Apabila UU ini masih dirasakan oleh sebagian masyarakat belum sempurna, maka sebagai negara hukum terbuka ruang untuk dapat menyempurnakan UU tersebut melalui mekanisme yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” ucap Puan, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara News.
Baca Juga: PA 212 Warnai Demo Tolak UU Cipta Kerja, Habib Rizieq Shihab Serukan Segera Pulang
Perempuan pertama yang menjadi Ketua DPR RI itu memastikan DPR RI sudah memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja bersama pemerintah.