PR CIREBON - Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir menilai penetapan ganja sebagai tanaman obat di bawah kewenangan Kementerian Pertanian adalah salah sasaran.
Pasalnya, Mudzakir menilai obat bukan kewenangan Kementerian Pertanian, melainkan ranah dari Kementerian Kesehatan. Apalagi keputusan itu juga berlawanan dengan banyak peraturan hukum di Indonesia, artinya aturan dikeluarkan tanpa riset mendalam dan komprehensif.
Untuk itu, ia mempertanyakan kebijakan yang sempat tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian itu.
Baca Juga: Penyerangan Polsek Ciracas Bukti Hoaks Berbahaya, BPIP: Budaya Kritis Harus Digalakkan Lagi
"Urus saja pangan nasional agar terpenuhi atau mungkin bisa ekspor produk-produk (pangan) lain yang tidak dilarang," ujar Mudzakir, seperti dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara News
Sependapat dengan Mudzakir, Pengamat kebijakan publik LIPI Syafuan Rozi Soebhan menilai masalah ganja sebagai pengobatan di Indonesia masih terus diperdebatkan, karena belum ada pengaturan dan pengawasan yang jelas.
Bahkan sejauh ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Tanah Air sudah menetapkan bahwa konsumsi tanaman ganja merupakan hal yang dilarang, apalagi dibudidayakan.
"Polri adalah penegak hukum yang hanya berpegBaca Juga: Deklarator KAMI Punya Reputasi Terhormat, Fadli Zon: Mereka Mewakafkan Diri Jadi Juru Bicara Rakyatang pada undang-undang. Jika memang mau dilegalkan sebagai obat, harus amandemen Undang-Undang yang ranahnya politik," jelas Syafuan.
Lebih lanjut, polemik ganja jadi tanaman obat iniakan makin ramai, bila ini diangkat menjadi debat publik, karena Kementan juga harus memiliki dasar riset dan alasan yang jelas, seperti pemanfaatan ganja untuk konsumsi secara terbatas di Belanda.