Jadi Inspirasi Kawula Muda dan Bikin Bangga Kabupaten Cirebon, Pria Lulusan MTs Jadi Profesor LIPI

- 26 Mei 2020, 21:00 WIB
M. Alie Humaedi, putra terbaik lulusan MTs Negeri Babakan Ciledug Kabupaten Cirebon kini menjabat di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.*
M. Alie Humaedi, putra terbaik lulusan MTs Negeri Babakan Ciledug Kabupaten Cirebon kini menjabat di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.* //PR/ EGI SEPTIADI
PIKIRAN RAKYAT - Ketika bersungguh dalam belajar dan berjuang, lulusan sekolah mana pun bisa bekerja di lembaga apapun yang diinginkan.
 
Seperti yang dirasakan M. Alie Humaedi, putra terbaik lulusan MTs Negeri Babakan Ciledug Kabupaten Cirebon kini menjabat di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.
 
MTs yang kini berganti nama menjadi MTs Negeri 01 Cirebon asal Desa Gebang Kulon Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon tersebut punya lulusan yang jadi kebanggaan.
 
 
Alie dikukuhkan sebagai profesor setelah berhasil melakukan riset Menggugah Empati, Menarik Simpati: Kekuatan Etnografi Post-Kritis dalam Mendorong Kebijakan Berbasiskan Kebudayaan Lokal.
 
Guru MTs Negeri 01 Cirebon, Basuni mengatakan, pihaknya ikut bangga lantaran teman satu angkatan sekolahnya dahulu kini telah menyandang title Profesor.
 
Terlebih saat ini, Basuni yang juga menjadi pengajar di MTs Negeri 01 Cirebon bertambah kebahagiaannya lantaran sang profesor itu telah membawa nama harum sekolah.
 
 
Bangga dan bahagia yang dirasakan seluruh keluarga besar MTs Negeri 01 Cirebon tidak bisa diungkapkan melalui kata, namun hal itu menjadi salah satu bukti bahwa mengenyam pendidikan di MTs Negeri 01 Cirebon tidak dipandang sebelah mata.
 
"Yang pasti kami atas nama teman dan keluarga besar MTs N 01 Cirebon merasa bangga dan bahagia, semoga ada M. Alie Humaedi - M. Alie Humaedi lain muncul dari para lulusan MTs N 01 Citebon ini, "ungkapnya.
 
 
Sementara dalam pengukuhan sebagai profesor di LIPI Jakarta, M. Alie Humaedi memaparkan, kontestasi antar kelas sosial terlihat jelas pada pengambilan keputusan terhadap pembangunan.
 
Hegemoni kelompok kelas menengah atas dalam berbagai keputusan pembangunan masih kuat untuk memenuhi kebutuhan eksistensi. Sementara kelompok kelas bawah berusaha memenuhi kebutuhan dasar.
 
 
“Pembangunan terjebak ke ritual prosedural dan formalitas akademis dengan data solid, logosentrisme, statistik, dan rasional,” jelas M. Alie Humaedi dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.
 
Hal itu disampaikan dalam orasi pengukuhan Profesor Riset “Menggugah Empati, Menarik Simpati: Kekuatan Etnografi Post-Kritis dalam Mendorong Kebijakan Berbasiskan Kebudayaan Lokal” pada Kamis 14 Mei 2020 di Jakarta.
 
 
Menurut Alie, jebakan formalitas akademis melupakan kearifan lokal yang penuh virtue ethic atau etika kebajikan.
 
“Virtue ethic telah terbukti sebagai strategi bertahan hidup berbagai kelompok masyarakat di Indonesia,” jelasnya.
 
Ia mengusulkan solusi untuk mengatasi kedua paradoks yang saling berhadapan dengan menggunakan pendekatan etnografi post-kritis yang mengelaborasi tradisi etnografi realis dan kritis. Ia menyebutkan etnografi post-kritis menjadi jembatan emas. 
 
 
“Tujuannya mengangkat sistem budaya ke perumusan dan pelaksanaaan kebijakan tanpa menghilangkan tujuan pembangunan,“ terangnya.
 
Alie menjelaskan, terdapat dua karakter dalam etnografi ini.
 
“Karakter pertama adalah kedekatan personal dan jalinan komunitas yang dibangun berdasar empati dan simpati. Keduanya dikapitalisasi dengan proses relativisme subjektivitas,” terangya.
 
 
Sementara, karakter kedua adalah kekuatan data etnografis hasil elaborasi emik dan etik diajukan dalam identifikasi kebutuhan, strategi pelaksanaan, sistem pengawasan, dan skenario pembangunan keberlanjutan.
 
Aplikasi Etnografi Post-Kritis
 
Alie Humaedi telah melaksanakan beberapa penelitian terkait etnografi post-kritis. Salah satunya yakni penelitian dalam menguji emik dan etik dalam strategi pengetasan kemiskinan di Rembang, Jawa Tengah dengan live in.
 
 
“Ada empat modal budaya yang berperan dalam mengatasi reproduksi kemiskinan,” terangnya.
 
Petani dan nelayan di Rembang, Jawa Tengah kurang mendapat rembesan program, seperti BLT, Raskin, PKH, dan lainnya dikarenakan adanya praktik sosial yang berusaha menahan laju kemiskinan, seperti ngenger (ikut orang), dem-deman (tanah terpesan), bagito (bagi rata), embung (bagi air), dan sistem jaringan kekerabatan lain.
 
Identifikasi kemiskinan dan mekanisme sosial penahan laju kemiskinan diperoleh dari rasa empati dan simpati selama live in dari praktik ngenger.
 
 
Pemanfaatan tanah milik orang kaya atau desa untuk livelihood system si miskin diambil dari praktik dem-deman. Kebutuhan air bersih, diatasi dengan tata kelola embung.
 
Dan ketidakmerataan bantuan diatasi dengan sistem bagito, yaitu model pembagian makanan saat di sawah dan siklus kehidupan.
 
Setelah mekanisme modal budaya beserta teknis pelaksanaan kemudian, dikomunikasikan ke masyarakat luas lalu diujicoba oleh instansi terkait dan diangkat dalam pembahasan di tingkat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
 
 
“Akhirnya modal budaya ini menjadi strategi penguatan kelembagaan sosial tradisi dalam mengatasi kemiskinan,” tutup Alie.***

Editor: Tyas Siti Gantina


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x