Muslim Uighur Dipaksa Makan Daging Babi, Ketika Tiongkok Memperluas Peternakan di Xinjiang

- 4 Desember 2020, 11:11 WIB
Ilustrasi Muslim Berdoa.
Ilustrasi Muslim Berdoa. /Pixabay/ aamiraimer

PR CIREBON - Sudah lebih dari dua tahun sejak Sayragul Sautbay dibebaskan dari kamp di wilayah paling barat Tiongkok, Xinjiang. Namun ibu dua anak ini masih mengalami mimpi buruk dan kilas balik dari “penghinaan dan kekerasan” yang dialaminya selama ditahan.

Sautbay, seorang dokter medis dan pendidik yang sekarang tinggal di Swedia, baru-baru ini menerbitkan sebuah buku di mana dia merinci cobaan beratnya, termasuk menyaksikan pemukulan, dugaan pelecehan seksual dan sterilisasi paksa.

Dalam wawancara baru-baru ini dengan Al Jazeera, dia menjelaskan lebih banyak tentang penghinaan lain yang dialami Uighur dan minoritas Muslim lainnya, termasuk konsumsi daging babi, daging yang dilarang keras dalam Islam.

Baca Juga: Akhirnya Terduga Pelaku Azan Ajakan Jihad Diamankan, Polisi Sita Ponsel hingga Sarung

“Setiap Jumat, kami dipaksa makan daging babi,” kata Sautbay. “Mereka sengaja memilih hari yang suci bagi umat Islam. Dan jika Anda menolaknya, Anda akan mendapatkan hukuman yang berat. "

Dia menambahkan bahwa kebijakan tersebut dirancang untuk menimbulkan rasa malu dan rasa bersalah pada para tahanan Muslim dan "sulit untuk menjelaskan dengan kata-kata" emosi yang dia miliki setiap kali dia makan daging.

“Saya merasa seperti saya adalah orang yang berbeda. Di sekitarku menjadi gelap. Sangat sulit untuk menerimanya, ”katanya, diktuip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Aljazeera.

Baca Juga: Deklarasi Papua Merdeka Benny Wenda, Ahmad Basarah: Bangun, Sudahi Kenikmatan dalam Mimpi Indah

Kesaksian dari Sautbay dan lainnya memberikan indikasi tentang bagaimana Tiongkok berusaha untuk bertindak di Xinjiang dengan membidik kepercayaan budaya dan agama dari sebagian besar etnis minoritas Muslim.

Namun dokumen yang dihimpun Al Jazeera menunjukkan bahwa pembangunan pertanian juga telah menjadi bagian dari apa yang dikatakan oleh antropolog Jerman dan cendekiawan Uighur, Adrian Zenz, sebagai kebijakan “sekularisasi”.

Halaman:

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Al Jazeera


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x