SABACIREBON-Banyak pihak yang mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi yang melarang ekspor minyak goreng, bahan baku minyak goreng dan turunnya. Hampir tiap hari media mainstream memberitakan pelarangan itu dengan intensitas yang berulang.
Didengungkan oleh para praktisi, perguruan tinggi, keluarga alumni perguruan tinggi, ormas, bahkan parpol serta lembaga-lembaga penelitian dan banyak lainnya, semua meminta agar Presiden Jokowi saatnya mencabut larangan ekspor itu.
Mereka menilai, Indonesia akan kehilangan devisa dari ekspor minyak goreng. Pemerintah akan kehilangan pajak dari ekpor tersebut. Pemerintah akan rentan karena bila devisa ini tidak dapat terpenuhi, dikhawatirkan nilai transaksi berjalanan dari neraca perdagangan akan kehilangan momentum surplusnya.
Bila ini terjadi akan menimbulkan tekanan pada nlai tukar mata uang, sehingga rupiah juga dapat melemah, dan dollar Amerika menguat, sehingga butuh banyak rupiah untuk membeli barang-barang impor.
Sisi lainnya, juga mengundang kriminalitas dalam bentuk terjadinya penyelundupan minyak goreng akibat disparitas harga yang tinggi dari harga minyak goreng di pasar global dengan keinginan pemerintah untuk menetapkan harga minyak goreng kembali ke Rp 14.000/lt.
Dibalik banyaknya tekanan kepada pemerintah, jarang terlihat media dan kalangan pengkritik pemerintah termasuk DPR untuk memberikan pembelaan, bahwa pelarangan itu dimaksudkan untuk menetapkan moral hazard kepada kalangan industri minyak goreng untuk memperhatikan masyarakat Indonesia yang daya beli nya berkurang banyak akibat kenaikan harga minyak goreng menjadi Rp 25.000/lt dari sebelumnya Rp 14.000/lt.
Baca Juga: Putin Tuduh Negara AS dan Sekutunya Sebagai Penyebab Krisis Ekonomi Global
Harga minyak goreng tinggi, karena harga minyak goreng di pasar international mengalami kenaikan. Pasokan minyak goreng dari Ukraina sebagai negara penghasil minyak goreng dari bunga matahari terganggu karena negara ini terlibat konflik perang dengan Rusia.